Leimese, Latunama, dan Ayutano


Perhatian, dalam ejaan Yang saya gunakan untuk bahasa Maluku Kuno, Saya gunakan x = glotal stop (Koma ain)

Catatan: Berikut ini, saya telah menggunakan x untuk menandai hamzah ketika mengutip dari bahasa Maluku asli.

Tiga pria dan seorang wanita adalah yang pertama kali menetap di Mulaxa, Nusa Laut. Orang-orang adalah Leimese, Latunama, dan Ayutano. Wanita itu Silawani. Mereka datang dari barat Seram. Mereka dibangun desa di Mulaxa. Leimese menjadi raja. Latunama
menjadi “Tuan Negeri.”, Ayutano menjadi Kapitan. Ayutano disebut
“Bermata empat Kapitan,” karena dalam pertempuran ia memakai dua lembar kaca di bagian belakang kepalanya, dari mana ia juga bisa melihat.

Raja Titawai adalah Mutihu. Ayutano dan Mutihu berperang, di mana Mutihu kehilangan sebagian besar anak buahnya. Mutihu disebut Pati-titawai dari Moso-xawae, dekat
Tuhaha, Saparua. Raja Mulaxa pergi ke sebuah pesta pernikahan di Iha, Saparua, dimana Kapitan dari Titawai sedang menikah dengan Aipasa, seorang wanita dari Tuhaha.

Loloho makan makan bersama keluarganya, dan kemudian pergi berjalan kaki ke Point Urputil. Dari sana ia berenang ke Point Tolo, di Nusa Laut, dekat Nalahia. Kemudian ia berjalan
pada arah Mulaxa. Dalam perjalanan, ia bertemu Kapitan Sitanari Mailoa, raja Amet. Loloho bertanya di mana dia dan ke mana ia pergi, dan Sitanari menjawab bahwa dia mencari “Kapitan bermata empat,” sehingga mereka pergi bersama-sama mencari Ayutano. Mereka tidak bisa menemukan Ayutano, sehingga Loloho mengatakan Sitanari untuk kembali, dan pergi saja. Dia tiba di Hinariri, dan ada yang ditemukan Ayutano. Mereka memulai pertempuran, tetapi Ayutano mengatakan bahwa Hinariri tidak begitu baik tempat, sehingga mereka berjalan ke Tartapa. Di sana mereka mulai bertempur lagi. Mereka berjuang untuk beberapa waktu, tetapi tidak bisa menang, sehingga mereka dipisahkan
sementara. Loloho pergi dan mengumpulkan sejumlah kapitans lain,
dan membawa mereka ke Woru. Ia menyuruh mereka menunggu di Woru, dan dirinya sendiri melanjutkan untuk Nasaputi, tempat pertempuran. Dia mengatakan kepada mereka bahwa seharusnya ia tidak kembali dalam waktu dua jam, mereka bisa yakin dia sudah mati.

Pada Nasaputi, Loloho dan Ayutano memulai pertempuran lagi, tapi tetap saja, tidak bisa menang. Mereka dipisahkan lagi dengan janji Loloho bahwa ia akan bertemu dia di tempat yang sama besok. Ayutano kembali ke Hinariri, dan Loloho kembali ke Woru.

Pada Woru, para kapitans diadakan dewan, dan memutuskan bahwa satu-satunya cara Ayutano bisa diatasi akan dengan meletakkan, cabang halus kering telapak sagu pada medan perang sehingga ia akan tergelincir pada mereka. Mereka meletakkan cabang sagu
di Nasaputi, di mana Loloho dan Ayutano akan melakukan pertempuran di hari berikutnya. Mereka bertemu dalam pertempuran seperti yang direncanakan, dan Ayutano terpeleset dan jatuh pada sagu cabang. Tangan cepat Loloho itu terjadi di lepas kepalanya, dan ia meninggal.

Loloho menyembunyikan kepala di Hunruni. Saat ia sedang sekarat, “bermata empat prajurit” memiliki meminta agar tubuhnya tidak boleh creamated, tetapi dimakamkan di dekat pantai. Itu kapitans pergi dengan kepalanya untuk Hauma-tape-ulo (kepala-gantung batu), di mana mereka menggantungnya. Pria yang membawa kepala itu Soumokil, dari Amet. Orang yang dikuburkan tubuh Ayutano adalah Soumete.

Ketika mereka menguburkannya, mereka menyanyikan lagu ini:
Hala u tambano (bahu tombak dan perisai)
Hale nasa Puti o (ada, tempat perang)
Akhir te merito (cabang sawit)
Loho la Tua Nima lesi o (kami telah menghancurkan semua kekuasaannya).

Setelah pemakaman, mereka pergi dan dibakar Mulaxa. Bunga api terbang sepanjang jalan untuk Iha, dan jatuh di piring Raja Leimese saat ia berpesta. Dia bangkit dan berseru bahwa desanya dibakar, dan berangkat ke Nusa Laut. Mencapai Mulaxa, ia menemukan desanya hancur. Begitu banyak sehingga dia bahkan tidak pergi ke darat, tetapi dipanggil untuk Kapitan Tahapari dari Akoon, dan berkata: “Ale Kapitan Tahapari (Anda, Kapitan Tahapari,)
Otoxo sala sala taha (rindu ketika Anda memangkas, bila Anda melewatkan dorong) Musasa mata Hitu (Anda adalah atap)
Salo waele ale muolo (tanaman sekitarnya menjadi milik Anda. Tanaman jauh akan kayu putih.) ”

Dan saat dia berlayar off untuk Seram, katanya,
“Kapitan Tahapari, mu Salamat Tinggal o (Kapitan Tahapari, perpisahan) Yau Laulo Leimese, mu, Salamat (Aku adalah Raja Leimese. Perpisahan.) Celakalah lai tempat sanyo (berlayar ke tempat apa pun) Solo hua Sama yau mussahamba (pemeliharaan Allah dapat memberikan bagi saya).

 

Perhatian, dalam ejaan yang saya gunakan untuk bahasa Maluku kuno, saya gunakan x = glottal stop (koma ain)

 Note: In the following, I have used an x to mark the glottal stop when quoting from the original Moluccan languages.

Three men and a woman were the first to settle at Mulaxa, Nusa Laut.  The men were Leimese, Latunama, and Ayutano.  The woman was Silawani.  They came from west Seram. They founded a village at Mulaxa.  Leimese became king.  Latunama became “Tuan Negeri.”, Ayutano became Kapitan.  Ayutano was called the “four-eyed kapitan,” because in battle he wore two pieces of glass on the back of his head, out of which he could also see.

The king of Titawai was Mutihu.  Ayutano and Mutihu made war, in which Mutihu lost most of his men.  Mutihu called Pati-titawai from Moso-xawae, near Tuhaha, Saparua.  The king of Mulaxa went to a wedding feast at Iha, Saparua, where the kapitan of Titawai was being married to Aipasa, a woman from Tuhaha. Loloho ate a meal with his family, and then departed on foot to Urputil Point. From there he swam to Tolo Point, on Nusa Laut, near Nalahia. Then he walked on toward Mulaxa.  On the way, he met Kapitan Sitanari Mailoa, king of Amet. Loloho asked him where he was from, and where he was going, and Sitanari answered that he was looking for the “four-eyed kapitan,” so they went off together in search of Ayutano.  They could not find Ayutano, so Loloho told Sitanari to return, and went on alone.  He arrived at Hinariri,and there found Ayutano.

They commenced battle, but Ayutano said that Hinariri was not sogood a place, so they walked to Tartapa.  There they commenced fighting again.They fought for some time, but neither could prevail, so they separatedtemporarily.  Loloho went and gathered together a number of other kapitans,and brought them to Woru.  He told them to wait at Woru, and himself went onto Nasaputi, the place of battle.  He told them that should he not return in two hours’ time, they could be sure he was dead. At Nasaputi, Loloho and Ayutano commenced battle anew, but still, neither could prevail.  They separated again with Loloho’s promise that he would meet him at the same place tomorrow.  Ayutano returned to Hinariri, and Loloho returned to Woru. At Woru, the kapitans held council,and decided that the only way Ayutano could be overcome would be by laying the smooth, dry branches of the sago palm on the battle ground so that he would slip on them.  They laid the sago branches at Nasaputi, where Loloho and Ayutano would do battle the next day. They met in battle as planned, and Ayutano slipped and fell on the sago branches.  Loloho’s swift hand struck off his head, and so he died. Loloho hid the head at Hunruni.  As he was dying, the “four-eyed warrior” had

asked that his body should not be creamated, but buried near the beach.  The kapitans went off with his head to Hauma-tope-ulo (the head-hanging stone), where they hung it up.  The man who carried the head was Soumokil, of Amet. The man who buried Ayutano’s body was Soumete. As they buried him, they sang this song:

Hala u tambano (shoulder spears and shields)

Hale nasa puti o (there, the place of war)

Late te merito (the palm branch)

Loho la tua nima lesi o (we have destroyed all his power).

After the burial,they went off and burned Mulaxa.  The sparks flew all the way to Iha, and fell on King Leimese’s plate as he feasted.  He arose and exclaimed that his village was burned, and set off for Nusa Laut.

SAGU DALAM PENGEMBANGANNYA


Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua New Guinea, Malaysia dan Thailand. Flach (1983) dan Budianto (2003) menyebutkan bahwa luas areal hutan sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, yang tersebar di Indonesia kurang lebih 1,1 juta hektar atau sekitar 51,3%, bahkan Suryana (2007) memperkirakan luasan yang lebih besar sekitar 60% dari luas areal sagu dunia.

Pohon Sagu

Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa gambut, daerah sekitar aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan rawa. Seryana (2007) menyebutkan bahwa tumbuhan sagu mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah rawa-rawa dan lahan marginal yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman konservasi. Tanaman sagu yang dapat tumbuh disekitar mata air dapat berperan dalam melindungi dan melestarikan sumber mata air

Louhenapessy (2006) mengatakan bahwa di kepulauwan Propinsi Maluku terdapat 5 (lima) jenis sagu  yaitu sagu tuni (Metroxylon rumpii Mart), sagu molat (Metroxylon sagus Rotb),  sagu ihur (Metroxylon sylvester Mart), sagu makanaru (Metroxylon longispinum Mart), dan sagu duri rotan (Metroxylon microcanthumni Mart).

Berdasarkan laporan Universitas Pattimura (1992) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 47.6 ribu hektar. Sedangkan menurut Louhenapassy (1992) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 26 ribu hektar. Luas tersebut merupakan luas areal tumbuhan sagu yang dapat dipetakan, artinya terdapat dalam suatu hamparan yang dapat dikatakan sebagai lahan hutan.

Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Propinsi Maluku menurut Louhenapessy (1992) dikelompokan menjadi 4 kategori yaitu : 1). Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan pengenangan tetap maupun pengenangan sementara,      3). Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai kandungan air tanah yang cukup.

Kebanyakan potensi luasan tumbuhan sagu nasional terdapat di wilayah Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku mencapai 96%, sisanya tersebar di daerah lain seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Jambi dan Riau.

Walaupun potensi sagu nasional sangat besar, namun pemanfaatannya belum optimal hal ini ditandai dengan banyak tanaman sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah, diperkirakan hanya 15 – 20%. Pemanfaatan potensi sagu hanya terbatas pada skala petani/industri kecil dengan cara pengolahan manual karena tidak tersedia pengolahan sagu yang memadai secara lokal dan terganjal masalah pemasaran. (JH).

This entry was posted in industri, info, investasi, pertanian, potensi sumberdaya and tagged . Bookmark the permalink.

INFO WISATA TAMAN NASIONAL MANUSELA KABUPATEN MALUKU TENGAH


Taman Nasional Manusela (TNM)  dikenal sebagai   objek wisata alam dengan daya tarik tersendiri dengan   pemandangan alam yang indah dan menarik serta topografi berbukit-bukit di antaranya tepi Markele, lembah Manusela, tepi Kobipoto, dataran Mual sebelah utara dan lembah Wae Kawa di sebelah selatan. Atraksi yang bisa di nikmati adalah menjelajah hutan, panjat tebing, pengamatan satwa/tumbuhan.

Sawai

 

Kawasan TNM banyak memiliki keunikan dan kekhasan, seperti lembah Manusela dengan pemandangan alamnya yang menarik dan keadaan iklimnya yang segar dan menyenangkan, lembah Piliana yang kaya akan jenis kupu-kupu, Sawai dengan aneka karang lautnya yang indah sangat cocok untuk kegiatan snorkeling dan diving disamping itu di daerah Sawai dan sekitarnya juga dapat dinikmati pemandangan tebing sawai yang indah atau wisata tirta yangdapat dinikmati dengan menggunakan fasilitas kapal cepat dan longboat milik Balai TN. Manusela.

Pengelolaan wisata alam di Sawai dan sekitarnya melibatkan multipihak seperti LSM (Yayasan Wallacea yang mengelola PRS Masihulan), Pemerintahan Negeri Sawai sebagai perwakilan  Pemerintahan Daerah Maluku dan pihak masyarakat atau pengusaha yang berperan aktif dalam mengembangkan kegiatan wisata alam di daerah Sawai dan sekitarnya, air panas di Tehoru serta kegiatan safari rusa di padang Pasahari (MJ).

Arsip Tag: Desa Selumena Sekolah Laskar Pelangi Di Kaki Gunung Binaya


Sekolah Laskar Pelangi Di Kaki Gunung Binaya

Akhir November lalu saya bersama tim Ekspedisi Jejak Binaya – sebuah kegiatan yang digawangi oleh sebuah kelompok pecinta Alam Maluku – memulai perjalanan menuju “Atap “ Nusa Ina, Gunung Binaya 3027 mdpl.

Peta Kawasan Taman Nasional Manusela

Kami memulai start dari selatan, tepatnya di desa Moso. Desa tujuan kami selanjutnya adalah Manusela. Kami mencapai Desa manusela, setelah 4 hari perjalanan dari Desa Moso, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku tengah.
Desa Manusela terletak di ketinggian 870 mdpl. Desa ini merupakan desa administratif yang dipimpin oleh seorang raja merangkap kepala desa. Yotam Amanokuahe nama rajanya.

SD YPPK Manusela

Di desa ini hanya punya satu puskesmas dan sebuah sekolah dasar. Sekolah Dasar YPPK namanya. SD YPPK di Manusela ini hanya punya tiga 3 guru. Tapi yang saya jumpai saat itu hanya seorang guru yang juga merangkap sebagai kepala sekolah. Saya lupa nama guru itu. dia begitu sibuknya mengajar dari kelas satu hingga kelas enam. Saking sibuknya hingga dia menghiraukan kami yang hendak menawarkan diri untuk membantunya mengajar.
Sekilas ketika melihat sekolah ini, saya teringat akan SD Muhammadiyah di Belitong, yang kemudian terkenal lewat novel karya Andrea Hirata, Laskar Pelangi. Sekolah ini punya 7 ruangan. Satu ruang kantor dan 6 ruang kelas. Empat ruang kelas belajar di sekolah ini tak layak huni. Atapnya bolong, kayu penyangga utama gedung sudah reot di makan rayap. Sangat rawan roboh. Di tambah jumlah kursi yang tidak seimbang dengan jumlah siswa. Satu kursi bisa dipakai oleh 2 hingga 3 siswa.

Kondisi SD YPPK Manusela

SD YPPK Manusela, punya 64 murid dari enam kelas. 33 orang siswa dan 31 orang siswi. Di kelas 6 hanya ada 5 murid, 4 orang siswa dan 1 orang siswi. Saya sempat berbincang dengan kepala sekolah. Dari beliau saya baru tahu bahwa siswa kelas 6 yang sebentar lagi akan menghadapi ujian akhir kelulusan tidak akan mengikuti ujian di sekolah ini.
“mereka akan ditampung di sebuah sekolah di desa Moso kecamatan Tehoru hingga ujian selesai. Dari tahun ke tahun memang seperti itu,” tutur kepala sekolah.
Yang membuat hati saya miris, bocah-bocah kecil yang akan mengikuti ujian ini harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer dengan berjalan kaki untuk mencapai sekolah tempat ujian mereka nanti. Waktu tempuhnya bisa dua sampai 3 hari perjalanan. menurut cerita bapak Yotam, Raja Besa Manusela, bila malam hari tiba dan mereka belum sampai di kampung, anak-anak ini terpaksa tidur ditengah hutan belantara pulau Seram, baik di rumah-rumah kebun (sangat sedikit), atau di camp istirahat terbuat dari tarpal plastik seperti di hutan Sekiwailala dan Waelohilohi. Terpal yang didirikan seadanya itu sudah dalam kondisi rusak.

Tak Kalah Miris

Sebenarnya ada banyak sekali sekolah di kawasan Taman Nasional Manusela (tepatnya daerah jalur pendakian Gunung Binaya) yang sama mirisnya dengan sekolah YPPK di Manusela.
Sebut saja SD 15 Maraina yang hanya punya satu guru dan merangkap kepala sekolah. Desa Maraina sendiri hanya berjarak 10 km dari Utara Desa Manusela.

SD 15 Maraina

SD 15 Maraina punya 6 ruang kelas dengan 83 murid. 45 org siswa dan 38 orang siswi. Bayangkan saja betapa repotnya seorang guru yang menangani semua kelas. Kami melihat ibu guru ini begitu gesitnya berpindah dari satu kelas ke kelas lainnya. Jika ia sudah masuk ke satu kelas, ia hanya akan memberi tugas dan kemudian pindah ke kelas yang lain. Jika tugas yang ia berikan sudah selesai dikerjakan oleh siswa, ia akan mengizinkan mereka bermain di luar kelas.
“saya lakukan ini begitu setiap hari, “ ungkap wanita paruh baya ini.
Kami sempat membantu mengajar beberapa kelas. Saya kebagian kelas Satu. saat saya masuk ruangan, kelas ini begitu hening. Hanya ada 10 siswa yang hadir pada saat itu. padahal di papan absen kelas tertera kelas ini memiliki 26 siswa. Saya sempat bertanya, kemana siswa-siswi yang tidak hadir ini. Dengan serentak mereka menjawab, “ SAKIIIIITT…!”
Entah benar atau tidak, saya hanya mengangguk. Tak ada pelajaran spesifik yang saya ajarkan saat itu. saya hanya melontarkan beberapa pertanyaan dan kemudian menanyakan cita-cita mereka. Banyak jawaban yang saya terima. Ada yang ingin jadi pilot, tentara, bahkan ada seorang gadis kecil yang tersipu malu dan dengan suara pelan menjawab “ beta ingin jadi presiden”.
Saya tak bisa lama menahan mereka dalam kelas, karena bel istirahat baru saja berbunyi. Ini pertanda bahwa mereka harus keluar kelas. Saya sempat mengajak mereka foto bersama.

Foto bersama siswi SD 15 Maraina

Selain SD 15 Maraina, ada juga SD YPPK Kanikeh yang tak kalah miris. Sekolah yang terletak di Desa Kanikeh, yang juga merupakan Desa yang paling dekat dengan Gunung Binaya dan juga masuk dalam center kawasan Taman Nasional Manusela.
Saat kami tiba di Desa ini, saya menyempatkan diri mengunjungi SD YPPK ini. Saya mengamatinya luar dan dalam kelas. Kelas ini nampak amburadul dan sepertinya lama tak dipakai. Saya sempat bertanya pada bapak Sondri Lilihata, Kepala Saniri Desa Kanikeh tentang sekolah ini. darinya saya baru tahu kalo sekolah ini sudah libur 3 bulan lebih.
“siswa akan datang ke sekolah jika gurunya sudah datang dari Wahai,” kata Sondri.
Desa Wahai sendiri merupakan ibu kota kecamatan Seram Utara. Saya tidak tahu jarak pastinya, tapi yang saya tahu, untuk menuju ke Wahai dibutuhkan perjalanan 3 sampe empat hari jalan kaki.
Saya tinggalkan sekolah ini dengan sejuta pertanyaan. Karena hari sudah gelap dan saya harus kembali ke rumah tempat saya menginap nanti.
Paginya saya bangun telat karena semalam begadang. saya terbangun karena ajakan seorang teman untuk bantu bersih-bersih di SD YPPK Kanikeh.
Saya kaget dan kemudian bertanya, “ sekolah itu mau dibersihkan? Berarti gurunya sudah ada?”
Teman saya hanya mengangguk. Dengan sekejap saya bangkit dan bergegas menuju sekolah itu. jaraknya hanya 10 meter dari rumah yang kami tempati.

Sampe di depan SD saya menemukan beberapa orang anak sedang memegang sapu untuk bersih-bersih. Ternyata ada beberapa orang siswi yang telah lebih dulu berada dalam kelas. Mereka bahu membahu membersihkan kelas yang dipenuhi kotoran anjing. Saya sempat membantu mereka menata kursi. Saya ingin sekali memotret aktivitas mereka, sayangnya batrei kamera saya sudah drop sejak 2 hari lalu.
Saya melihat keinginan besar dalam diriku mereka untuk belajar. saya jadi membandingkan, bagaimana jika situasi ini terjadi di daerah perkotaan.
Justru saat tidak ada guru, setiap siswa akan bersorak kegirangan. Sungguh berbeda dengan apa yang mereka lakukan. Mereka justru dengan suka cita menyambut guru yang datang walau tak tentu kapan waktunya.
Jika ingat kejadian ini juga, pikiran saya jadi terbawa pada satu scene dalam film laskar pelangi dimana Ikal mengajak teman-temannya, anggota laskar pelangi untuk bersekolah walau tak ada guru. Saat itu ibu muslimah sedang berduka atas kematian pak Arfan, yang membuat dia tidak mau lagi mengajar.
Saya harap guru yang datang itu dapat melihat kesungguhan serta semangat bocah-bocah mungil di kaki gunung binaya ini untuk memperoleh pendidikan.

[End]
Rifky Santiago————http://justrifky.wordpress.com/tag/desa-selumena/